Senin, 14 April 2014

Anak-anak Difabel Ikuti Fashion Show di Citra Marina

Anak-anak Difabel Ikuti Fashion Show di Citra Marina

Minggu, 16 Februari 2014 14:56 WIB

Anak-anak Difabel Ikuti Fashion Show di Citra Marina
TRIBUN JATENG/ABDUL ARIEF
ANAK DIFABEL- Efata rumah pintar anak berkebutuhan khusus pendengaran, menggelar fashion show di Resto Citra Marina, Semarang, Minggu (16/2/2014). 
Laporan  Tribun Jateng, Abdul Arif
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG- Efata rumah pintar anak berkebutuhan khusus pendengaran, menggelar fashion show di Resto Citra Marina, Semarang, Minggu (16/2/2014). Fashion show diikuti sejumlah anak difabel binaan Efata.
Pimpinan Efata Semarang, Windy Aryadewi (42) mengatakan, fashion show tersebut diikuti lima anak dengan gangguan pendengaran binaanya.
Anak-anak tersebut, kata dia, menampilkan batik karya anak-anak binaan Efata Semarang. "Batik yang mereka kenakan adalah batik model jumputan yang saat ini kami kembangkan," katanya. Selain menggelar fashion show, Efata juga memajang gambar-gambar hasil karya anak-anak berkebutuhan khusus.(*)

Kamis, 10 April 2014

Dian Inggrawati, Gadis Tuna Rungu yang Membanggakan Indonesia


15 September 2011 19:51 WIB


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - "Kecantikan itu adalah sesuatu yang berasal dari dalam, bukan apa yang tampak di permukaan."

Itulah pernyataan seorang Dian Inggrawati, gadis tuna rungu yang menggondol juara ketiga ajang Miss Deaf 2011 di Praha, Ceko, Juni-Juli lalu. Prestasi Dian langsung mendapatkan perhatian pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), setelah belakangan diketahui gadis berusia 27 tahun itu merupakan alumnus siswa SMK Santa Maria Jakarta.

Direktur Pembinaan SMK, Joko Sutrisno, Kamis (15/9), mengundang Dian bersama dengan sang ibu, Ida Hermawan, Kepala Sekolah SMK Santa Maria, Sri Purnami Mulyaningsih, dan seorang guru SMK Santa Maria, Margareta WD Utari. Di hadapan para wartawan di Gedung Kemdiknas, Dian mengungkapkan kunci kesuksesannya meraih gelar terhormat yang mengharumkan nama Indonesia tersebut.

"Saya sejak remaja memang telah memiliki ketertarikan dengan dunia desain-mendesain," tutur Dian yang mendapatkan sedikit bantuan sang ibu untuk menerjemahkan kata-katanya. Hal tersebut dibenarkan oleh Utari, yang saat SMK menjadi guru pembimbingnya di jurusan Tata Boga.

Meskipun tergolong anak yang menyandang kebutuhan khusus, hal tersebut tak menghalanginya untuk berprestasi. Terbukti sudah lebih dari 400 piala ia kumpulkan mulai dari jenjang SD hingga menyelesaikan perguruan tinggi dua tahun lalu. "Sejak jenjang sekolah dasar sampai kuliah saya memang selalu masuk ke sekolah-sekolah normal. Semoga prestasi saya ini bisa memberi semangat kepada saudara-saudara saya yang lain yang juga menyandang kebutuhan khusus," ujarnya.

Meskipun sudah dibilang meraih prestasi tertinggi, Dian tak mau berhenti sampai pada perhelatan yang telah berlangsung selama 11 tahun tersebut. Gadis tinggi semampai tersebut ingin mendorong rekan-rekannya sesama tuna rungu yang lebih muda untuk mengikuti kontes yang sama tahun depan. 

Selain itu Dian juga bermimpi kelak bisa hidup mandiri tanpa mengandalkan bantuan dari sang ibu yang tak kenal lelah. "Kelak saya ingin menjadi seorang desainer khusus tuna rungu. Saya ingin punya butik sendiri," harapnya.

Penggemar makanan Kwetiau itu juga baru-baru ini mendapatkan mandat Mendiknas untuk menyelenggarakan Kongres Tuna Rungu Se-Indonesia dalam waktu tiga bulan mendatang. "Jika acara tersebut berhasil maka Dian akan kami angkat sebagai Duta Pendidikan Inklusi," kata Joko.

Kepada Dian, Joko menjanjikan penghargaan atas kontribusi yang telah dilakukannya untuk Indonesia. Jika tidak berupa hadiah, Dian rencananya akan difasilitasi dalam mimpinya mengembangkan butik di tempat tinggalnya. "Kami akan segera mencarikan format penghargaannya. Namun kemungkinannya adalah salah satu dari dua opsi tersebut," tutur Joko.

Perjuangan Dian untuk meraih penghargaan di tingkat internasional tersebut sama sekali tidak mudah. Apalagi hidup Dian saat ini benar-benar ditopang ibunya yang hanya bekerja sebagai penjual kue. Sang ayah sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu.

Selepas menamatkan kuliahnya di Universitas Persada Indonesia 2009 lalu, Dian sehari-hari aktif di Yayasan Sehat Jiwa Raga (Sehjira) dimana ia tidak mendapatkan gaji dari yayasan tuna rungu tersebut. Namun tak dinyana, peruntungannya datang dari yayasan yang telah berdiri sejak 2001 tersebut.

Berawal dari informasi akan adanya kontes Miss Deaf 2011 dari Yayasan Sehjira, Dian langsung mengumpulkan segala persyaratan yang dibutuhkan. Keberangkatannya ke Praha 30 Juni lalu pun benar-benar mengandalkan biaya sendiri karena ia hanya memperoleh sponsor berupa busana dari salah seorang saudaranya yang memiliki butik.

Keberangkatannya ke Praha pun harus menemui kendala sulitnya visa ke negara pecahan Cekoslowakia tersebut. Sang ibu bahkan harus menginap dua hari dua malam di Kedutaan Besar Ceko demi mendapatkan izin tinggal untuk anak pertamanya tersebut.

Cerita berakhir dengan manis setelah Dian berhasil menempati urutan ketiga dalam kontes tersebut. Ia berada di belakang kontestan asal Italia, Ilaria Galbusera, yang menempati posisi pertama dan kontestan asal Rusia, Elena Korchagina, yang menempati posisi runner-up. Prestasi yang layak dibanggakan karena ia berhasil mengalahkan 35 kontestan lain untuk menduduki peringkat ketiga.

Prestasi yang diperoleh Dian mengajarkan dua hal. Pertama, tiap anak—termasuk anak-anak penyandang kebutuhan khusus—berhak memperjuangkan mimpinya. Sama seperti anak-anak normal, Dian juga berhak melakukan hal yang disukainya. "Deaf? No Problem!" seru Dian menirukan slogan yang dibawakannya di Ceko.

Rabu, 09 April 2014

Maria Caecilia Windy Aryadewi: Peziarahan Kasih Seorang Ibu



Jumat, 13 Desember 2013 16:11 WIB

HIDUPKATOLIK.com - Ia terkejut kala mengetahui putri bungsunya tak dapat mendengar dan bicara. Namun akhirnya ia pasrah dan berusaha untuk mendampinginya, memaksimalkan potensi dengar putrinya. Ia lantas terpanggil untuk mendampingi anak-anak tuna rungu. 

Meski dibekap aktivitas yang demikian padat sebagai seorang pengacara, Maria Caecilia Windy Aryadewi (41) tak melalaikan tugasnya sebagai seorang ibu. Windy berusaha untuk memperhatikan keempat buah hatinya, khususnya putri bungsunya, Mutiara Neizya Wibowo (5), biasa dipanggil Echa yang mengalami gangguan pendengaran.

Ketika usia Echa menginjak satu tahun, Windy mendapati putri bungsunya ini belum bisa mengucapkan sepatah kata pun. Lalu Windy memeriksakan Echa ke dokter spesialis anak. Usai pemeriksaan, sang dokter tidak mengisyaratkan ada gangguan yang dialami Echa. Dokter mengatakan Echa hanya terlambat berbicara.

Lima bulan berselang, Echa tak kunjung bisa bicara, bahkan tidak pernah terkejut saat mendengar suara petasan, televisi, petir yang menggelegar, dan suara lainnya. Hati Windy resah. Ia pun membawa putrinya ke dokter Telinga Hidung Tenggorok (THT) RS Hermina Jakarta. Dokter menyarankan agar Echa menjalani tes Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA): tes untuk mengetahui fungsi indera pendengar.

Pasrah
Pada 21 Agustus 2010, Echa menjalani tes BERA selama sekitar satu jam. “Saya menunggu hasil tes dengan perasaan gemetar, sedih, penasaran, dan takut,” ungkap Windy yang tetap memeluk keyakinan bahwa Echa bisa mendengar seperti anak-anak lainnya.

Usai pemeriksaan, dokter memberi penjelasan bahwa Echa mempunyai gangguan pendengaran yang sangat berat (proufond hearing loss). Tak ada respons dari telinga kanan dan kirinya. Mendengar itu, sontak Windy menitikkan air mata. “Saya kaget dan tidak percaya. Saya ingin mencari second opinion,” kisah umat Paroki Katedral Semarang, Jawa Tengah ini.

Windy membawa Echa pulang ke Semarang dan melakukan tes BERA ulang di Clinics Diagnosa Center (CDC) RSU Pusat dr Kariadi Semarang pada 1 Oktober 2010. Hasil tes kembali membuktikan bahwa Echa mengalami gangguan pendengaran berat. Hal itu disebabkan tidak terbentuknya sel-sel rambut di rumah siput telinga, sehingga tidak ada respon atau tidak terdeteksi suara sampai di atas 100 desibel (db).

Windy dan suaminya, Yudo Wibowo (42) berusaha tegar dan pasrah atas kenyataan tersebut. “Apapun hasilnya, sebagai seorang ibu, saya tetap menerima kenyataan ini. Saya pun berpikir dan mencari solusi untuk kebaikan Echa.” Segala upaya Windy tempuh demi kePeziarahan sembuhan sang buah hati. Ia ingin putri bungsunya bisa tetap menjalani hari dengan riang hati seperti ketiga kakaknya. Ia pun membelikan Alat Bantu Dengar (ABD) bagi Echa. Namun alat itu tak serta merta berfungsi, karena Echa tidak langsung mengerti bunyi atau suara yang didengarnya. Echa harus mengikuti terapi mendengar dan terapi wicara secara intensif.

Hari demi hari berlalu, belum juga ada tanda perkembangan berarti pada diri putrinya. Windy sempat putus asa. Genap satu tahun memakai alat bantu dengar, Echa baru bisa mengucap empat kata: pus, pis, papa, dada. “Tiap hari saya berdoa kepada Tuhan. Saya meyakini ada mujizat untuk Echa. Terselip kerinduan di hati saya, ingin Echa memanggilku Mama,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Akhir Desember 2011, Windy membawa Echa ke dokter THT di Surabaya. Dokter memeriksa dan melakukan tes untuk mendeteksi sejauh mana gangguan pendengaran Echa. Hasil tes tetap menyatakan Echa mengalami gangguan pendengaran berat, yaitu berada diambang 105 db untuk telinga kiri dan 108 db untuk telinga kanannya.

Dokter menyarankan agar dilakukan implan koklea pada telinga Ecaha, mengingat gangguan pendengarannya sangat berat. Mendengar itu, Windy lemas. Ia sempat patah arang karena biayanya tidak murah. Windy pasrah, sembari mencari cara lain agar putri bungsunya bisa memaksimalkan potensi dengar yang masih ada. “Saya serahkan semua pada Tuhan. Saya percaya Tuhan dan Bunda Maria pasti membantu,” ujar perempuan yang tak putus daraskan doa bagi kesembuhan buah hatinya.

Terpanggil
Di celah kesibukannya, Windy tetap menyediakan waktu untuk mendampingi Echa. “Saya lakukan terapi sederhana. Saya ambil barang misalnya buku, gelas, lalu saya gambar dan tuliskan nama barang itu sambil mengucapkannya. Ini saya lakukan setiap malam menjelang Echa tidur,” tuturnya. Echa terus mengalami perkembangan, kosa kata yang diucapkan semakin banyak. “Echa mulai bisa bercerita sederhana dan panggil saya ‘mama’. Saya senang sekali mendengarnya,” imbuh Windy, yang juga mengajari Echa membuat tanda salib dan berdoa.

Berbekal pengalaman membesarkan anak dengan gangguan pendengaran, Windy bersama empat ibu lainnya terpanggil untuk mendirikan Sound of Me Semarang Community (SOFT). Ini adalah komunitas orangtua anak gangguan pendengaran di Semarang dan sekitarnya yang bertujuan untuk berbagi cara menangani dan mengajar anak serta mencari solusi terapi dan alat bantu dengar.

SOFT mengadakan pertemuan secara berkala bagi para orangtua anak-anak gangguan pendengaran. Dalam pertemuan itu, mereka sharing dan berbagi tips untuk kemajuan anak-anak mereka, sekaligus mempererat tali persahabatan untuk anakanak mereka (SOFT Kids).

Awal September lalu, Windy juga memberikan ruang di rumahnya untuk pendampingan anak-anak gangguan pendengaran dengan nama Rumah Pintar Efata. Sekitar 15 anak usia di bawah 12 tahun bergabung di Rumah Pintar Efata tanpa dipungut biaya. Mereka belajar mewarnai, menggambar, dan modelling, serta terapi wicara. “Ke depan akan ada pelajaran ketrampilan bagi anak-anak yang sudah besar, seperti pembuatan batik dan merias pengantin,” tutur Windy. Dengan kegiatan tersebut diharapkan dapat mengembangkan kreativitas dan membangkitkan rasa percaya diri mereka.

“Saya ingin anak-anak ini punya nilai lebih. Mereka harus bisa berkreasi dan berprestasi, serta mandiri,” tandas perempuan kelahiran Semarang, 13 September 1972 ini.

Apa yang Windy lakukan merupakan bentuk pemberian dirinya. “Saya lakukan semua ini karena saya mencintai Yesus yang juga telah mencintai saya; dan saya senang bisa berbagi kepada sesama,” tandas perempuan yang juga melayani Senam Ceria di Yayasan Sosial Pemulihan Pelita (YSPP) dan melayani di Women International Club (WIC) Semarang ini.

Windy serahkan semua pada rencana Tuhan. Echa kini belajar di TK SLB Widya Bhakti Semarang. Ia berharap Echa tumbuh menjadi perempuan mandiri dan dapat berkomunikasi. Ia percaya rancangan Tuhan indah bagi Echa dan ketiga buah hatinya yang lain. Windy mengaku terus dikuatkan oleh Markus 7:37: “Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata.

Ivonne Suryanto/Maria Pertiwi

Selasa, 08 April 2014

Sekapur Sirih

Visi    : 

“ Menjadikan anak-anak berkebutuhan khusus gangguan pendengaran memiliki keunggulan sesuai talentanya masing-masing, mandiri dan memiliki jiwa kewirausahaan.”


Misi  :  

- Memfasilitasi pendidikan seni dan keterampilan sesuai dengan minat dan bakat anak secara cuma – cuma.


- Menjadikan Rumah Pintar sebagai wadah kreatifitas anak-anak berkebutuhan khusus gangguan pendengaran sekaligus sebagai ajang sharing para orang tua yang tergabung di Rumah Pintar.


- Menyelenggarakan proses pendidikan seni dan keterampilan yang menjunjung tinggi azas  keterbukaan di antara para orang tua, pembimbing dan pengurus agar meraih hasil yang terbaik untuk anak-anak berkebutuhan khusus gangguan pendengaran.


- Menyiapkan anak-anak berkebutuhan khusus gangguan pendengaran menjadi insan mandiri, berani mengembangkan potensi diri, memiliki kreatifitas dan berprestasi serta mampu mengembangkan kewirausahaan.


- Menerapkan sifat kekeluargaan dan melibatkan peran serta orang tua untuk kemajuan bersama anak –anak berkebutuhan khusus gangguan pendengaran. 




UNTAIAN  KASIH




Setiap orang tua pasti mengidamkan anak-anaknya terlahir sempurna dan normal baik secara fisik maupun mental. Nah, bagaimana jika anak kita terlahir berbeda dengan anak-anak yang lain (Anak Berkebutuhan Khusus), tentu hal ini harus disikapi secara positif oleh setiap orang tua yang memiliki Anak Berkebutuhan Khusus. Dalam merawat dan mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus membutuhkan tenaga dan perhatian yang ekstra dibandingkan merawat dan mengasuh anak-anak normal pada umumnya, sejak dini kita harus  memperhatikan dan memberikan motivasi yang bersifat membangun baik moril maupun materiil guna kepentingan kemajuan Anak Berkebutuhan Khusus, hal ini agar menjadikan Anak Berkebutuhan Khusus kelak jika dewasa mempunyai rasa percaya diri ketika berhadapan dengan orang lain dan dapat mencari penghasilan sendiri. 
                                          Peran serta dan dukungan penuh dari orang tua, keluarga terdekat dan masyarakat sangat penting sekali bagi perkembangan psikologi Anak Berkebutuhan Khusus dalam rangka mencari jati dirinya. Orang tua merupakan pribadi yang paling diidolakan oleh anak,sehingga kita dituntut untuk menjadi orangtua yang mempunyai pribadi yang baik bersahaja dan rendah hati. Setiap anak baik normal maupun anak berkebutuhan khusus mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam berprestasi dan meraih cita-cita serta bebas menjalani kehidupan sehari-harinya berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, meskipun Anak Berkebutuhan Khusus memiliki keterbatasan dan kekurangan, akan tetapi kita semua adalah sama di mata Tuhan, yaitu sama-sama merupakan insan ciptaanNYA, dan kita tahu bahwa tak ada produk Tuhan yang gagal.
                              
Rumah Pintar EFATA membuka ruang untuk Anak Berkebutuhan Khusus Gangguan Pendengaran menyalurkan minat dan bakatnya sekaligus berkreasi dan berprestasi. Di Rumah Pintar EFATA, Anak Berkebutuhan Khusus Gangguan Pendengaran dapat belajar melukis, modeling dan membuat ketrampilan sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki anak-anak tersebut. Dengan semangat berbagi dan berbela rasa untuk menuju tatanan hidup baru yang adil, damai, sejahtera, dan demokratis bagi kaum Kecil, Lemah, Miskin, Tersingkir, dan Difabel (KLMTD) serta berkarya dengan kasih maka, Rumah Pintar EFATA memfasilitasi semua kegiatan tanpa dipungut biaya. Dengan slogan “ Berkreasi dan Berprestasi” Rumah Pintar Anak Berkebutuhan Khusus Gangguan Pendengaran EFATA menjadi dunianya anak berkebutuhan khusus gangguan pendengaran.