Rabu, 09 April 2014

Maria Caecilia Windy Aryadewi: Peziarahan Kasih Seorang Ibu



Jumat, 13 Desember 2013 16:11 WIB

HIDUPKATOLIK.com - Ia terkejut kala mengetahui putri bungsunya tak dapat mendengar dan bicara. Namun akhirnya ia pasrah dan berusaha untuk mendampinginya, memaksimalkan potensi dengar putrinya. Ia lantas terpanggil untuk mendampingi anak-anak tuna rungu. 

Meski dibekap aktivitas yang demikian padat sebagai seorang pengacara, Maria Caecilia Windy Aryadewi (41) tak melalaikan tugasnya sebagai seorang ibu. Windy berusaha untuk memperhatikan keempat buah hatinya, khususnya putri bungsunya, Mutiara Neizya Wibowo (5), biasa dipanggil Echa yang mengalami gangguan pendengaran.

Ketika usia Echa menginjak satu tahun, Windy mendapati putri bungsunya ini belum bisa mengucapkan sepatah kata pun. Lalu Windy memeriksakan Echa ke dokter spesialis anak. Usai pemeriksaan, sang dokter tidak mengisyaratkan ada gangguan yang dialami Echa. Dokter mengatakan Echa hanya terlambat berbicara.

Lima bulan berselang, Echa tak kunjung bisa bicara, bahkan tidak pernah terkejut saat mendengar suara petasan, televisi, petir yang menggelegar, dan suara lainnya. Hati Windy resah. Ia pun membawa putrinya ke dokter Telinga Hidung Tenggorok (THT) RS Hermina Jakarta. Dokter menyarankan agar Echa menjalani tes Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA): tes untuk mengetahui fungsi indera pendengar.

Pasrah
Pada 21 Agustus 2010, Echa menjalani tes BERA selama sekitar satu jam. “Saya menunggu hasil tes dengan perasaan gemetar, sedih, penasaran, dan takut,” ungkap Windy yang tetap memeluk keyakinan bahwa Echa bisa mendengar seperti anak-anak lainnya.

Usai pemeriksaan, dokter memberi penjelasan bahwa Echa mempunyai gangguan pendengaran yang sangat berat (proufond hearing loss). Tak ada respons dari telinga kanan dan kirinya. Mendengar itu, sontak Windy menitikkan air mata. “Saya kaget dan tidak percaya. Saya ingin mencari second opinion,” kisah umat Paroki Katedral Semarang, Jawa Tengah ini.

Windy membawa Echa pulang ke Semarang dan melakukan tes BERA ulang di Clinics Diagnosa Center (CDC) RSU Pusat dr Kariadi Semarang pada 1 Oktober 2010. Hasil tes kembali membuktikan bahwa Echa mengalami gangguan pendengaran berat. Hal itu disebabkan tidak terbentuknya sel-sel rambut di rumah siput telinga, sehingga tidak ada respon atau tidak terdeteksi suara sampai di atas 100 desibel (db).

Windy dan suaminya, Yudo Wibowo (42) berusaha tegar dan pasrah atas kenyataan tersebut. “Apapun hasilnya, sebagai seorang ibu, saya tetap menerima kenyataan ini. Saya pun berpikir dan mencari solusi untuk kebaikan Echa.” Segala upaya Windy tempuh demi kePeziarahan sembuhan sang buah hati. Ia ingin putri bungsunya bisa tetap menjalani hari dengan riang hati seperti ketiga kakaknya. Ia pun membelikan Alat Bantu Dengar (ABD) bagi Echa. Namun alat itu tak serta merta berfungsi, karena Echa tidak langsung mengerti bunyi atau suara yang didengarnya. Echa harus mengikuti terapi mendengar dan terapi wicara secara intensif.

Hari demi hari berlalu, belum juga ada tanda perkembangan berarti pada diri putrinya. Windy sempat putus asa. Genap satu tahun memakai alat bantu dengar, Echa baru bisa mengucap empat kata: pus, pis, papa, dada. “Tiap hari saya berdoa kepada Tuhan. Saya meyakini ada mujizat untuk Echa. Terselip kerinduan di hati saya, ingin Echa memanggilku Mama,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Akhir Desember 2011, Windy membawa Echa ke dokter THT di Surabaya. Dokter memeriksa dan melakukan tes untuk mendeteksi sejauh mana gangguan pendengaran Echa. Hasil tes tetap menyatakan Echa mengalami gangguan pendengaran berat, yaitu berada diambang 105 db untuk telinga kiri dan 108 db untuk telinga kanannya.

Dokter menyarankan agar dilakukan implan koklea pada telinga Ecaha, mengingat gangguan pendengarannya sangat berat. Mendengar itu, Windy lemas. Ia sempat patah arang karena biayanya tidak murah. Windy pasrah, sembari mencari cara lain agar putri bungsunya bisa memaksimalkan potensi dengar yang masih ada. “Saya serahkan semua pada Tuhan. Saya percaya Tuhan dan Bunda Maria pasti membantu,” ujar perempuan yang tak putus daraskan doa bagi kesembuhan buah hatinya.

Terpanggil
Di celah kesibukannya, Windy tetap menyediakan waktu untuk mendampingi Echa. “Saya lakukan terapi sederhana. Saya ambil barang misalnya buku, gelas, lalu saya gambar dan tuliskan nama barang itu sambil mengucapkannya. Ini saya lakukan setiap malam menjelang Echa tidur,” tuturnya. Echa terus mengalami perkembangan, kosa kata yang diucapkan semakin banyak. “Echa mulai bisa bercerita sederhana dan panggil saya ‘mama’. Saya senang sekali mendengarnya,” imbuh Windy, yang juga mengajari Echa membuat tanda salib dan berdoa.

Berbekal pengalaman membesarkan anak dengan gangguan pendengaran, Windy bersama empat ibu lainnya terpanggil untuk mendirikan Sound of Me Semarang Community (SOFT). Ini adalah komunitas orangtua anak gangguan pendengaran di Semarang dan sekitarnya yang bertujuan untuk berbagi cara menangani dan mengajar anak serta mencari solusi terapi dan alat bantu dengar.

SOFT mengadakan pertemuan secara berkala bagi para orangtua anak-anak gangguan pendengaran. Dalam pertemuan itu, mereka sharing dan berbagi tips untuk kemajuan anak-anak mereka, sekaligus mempererat tali persahabatan untuk anakanak mereka (SOFT Kids).

Awal September lalu, Windy juga memberikan ruang di rumahnya untuk pendampingan anak-anak gangguan pendengaran dengan nama Rumah Pintar Efata. Sekitar 15 anak usia di bawah 12 tahun bergabung di Rumah Pintar Efata tanpa dipungut biaya. Mereka belajar mewarnai, menggambar, dan modelling, serta terapi wicara. “Ke depan akan ada pelajaran ketrampilan bagi anak-anak yang sudah besar, seperti pembuatan batik dan merias pengantin,” tutur Windy. Dengan kegiatan tersebut diharapkan dapat mengembangkan kreativitas dan membangkitkan rasa percaya diri mereka.

“Saya ingin anak-anak ini punya nilai lebih. Mereka harus bisa berkreasi dan berprestasi, serta mandiri,” tandas perempuan kelahiran Semarang, 13 September 1972 ini.

Apa yang Windy lakukan merupakan bentuk pemberian dirinya. “Saya lakukan semua ini karena saya mencintai Yesus yang juga telah mencintai saya; dan saya senang bisa berbagi kepada sesama,” tandas perempuan yang juga melayani Senam Ceria di Yayasan Sosial Pemulihan Pelita (YSPP) dan melayani di Women International Club (WIC) Semarang ini.

Windy serahkan semua pada rencana Tuhan. Echa kini belajar di TK SLB Widya Bhakti Semarang. Ia berharap Echa tumbuh menjadi perempuan mandiri dan dapat berkomunikasi. Ia percaya rancangan Tuhan indah bagi Echa dan ketiga buah hatinya yang lain. Windy mengaku terus dikuatkan oleh Markus 7:37: “Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata.

Ivonne Suryanto/Maria Pertiwi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar